Thursday, January 23, 2014

Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?

Pembunuhan yang terjadi pada sosok Soekarno merupakan sebuah pembunuhan tak langsung




Dalam buku yang tersusun atas kumpulan tulisan Asvi Warman Adam, sejarawan Indonesia lulusan Sorbone ini -khususnya yang dimuat oleh harian Kompas, saya menemukan sebuah kenyataan bahwa Bung Karno telah mengalami proses pembunuhan sebanyak tiga kali. Kenyataan ini kemudian ditambatkan sebagai judul buku itu sendiri: Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Apa maksudnya tokoh yang terkenal dengan kemampuan pidato, retorikanya itu dibunuh tiga kali? Bagaimana bisa?

Pembunuhan atas sosok proklamator Indonesia itu bisa dikatakan sebagai suatu tindakan dalam tanda kutip: "dibunuh". Maksudnya Soekarno tidak dibunuh seperti halnya Presiden Amerika ke-35, John F. Kennedy, yang mati tertembak atau Gandhi yang tertembus peluru salah satu fanatiknya sendiri. Pembunuhan yang terjadi pada sosok Soekarno merupakan sebuah pembunuhan tak langsung yang meliputi diri, gagasan, berikut karakternya: entah sebelum ia benar-benar meninggal atau sesudah kematiannya yang sungguh-sungguh.

Gagasan mengenai sosok Soekarno yang dibunuh sebanyak tiga kali itu, yang dikemukakan oleh Asvi Warman Adam, berangkat dari pemahaman sejarawan Indonesianis asal Perancis Jacques Leclerc, yang pernah menulis buku: Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi, sebagaimana tertera dalam artikel pertama buku ini, yang juga jadi pengantar, yang menyebutkan bahwa "Pada tahun 1970, Soekarno telah dibunuh dua kali."

Kesimpulan Leclerc atas Soekarno yang dibunuh dua kali itu berangkat dari dua fakta. Pertama, tokoh proklamator Indonesia yang meninggal pada 21 Juni itu disebutkan tidak mendapat proses perawatan dan pengobatan penyakitnya yang wajar. Obat yang harusnya diberikan untuk penyakit Soekarno, ternyata resepnya, yang diberikan oleh dokter Mahar Mardjono, disebutkan, tidak ditebus dan justru hanya tersimpan rapi, disembunyikan di dalam laci meja. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: obat apa yang diberikan pada mantan Presiden pertama Indonesia itu? Pertanyaan inilah yang memunculkan adanya indikasi pembunuhan tak langsung (pertama) atas diri Soekarno.

Kedua, terjadi pelarangan peringatan hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 1970 oleh Kopkamtib, yang bukan kebetulan berbarengan dengan hari lahir Soekarno. Oleh Leclerc, hal ini dianggap sebagai suatu praktik pembunuhan kedua yaitu upaya pembunuhan gagasan Bung Karno; yang prosesnya kemudian dilakukan secara aklamasi-sistematis yakni dengan sebuah pernyataan bahwa gagasan mengenai Pancasila bukanlah hasil pemikiran Bung Karno.

Dari gagasan Leclerc mengenai Bung Karno yang dibunuh dua kali itu, Asvi Warman Adam kemudian mengungkapkan, secara tidak langsung, adanya indikasi pembunuhan yang ketiga: pembunuhan karakter Soekarno, dalam kesimpulan sebuah buku yang dikarang oleh Antonie C.A. Dake, warga negara Belanda, yang berjudul Soekarno File, Berkas-Berkas Soekarno, Kronologi Suatu Keruntuhan, yang diterbitkan kembali pada 17 Novemver 2005. Buku yang sebelumnya merupakan sebuah disertasi yang telah berumur 30 tahun, dengan judul asli: The Devious Dalang: Soekarno and The So-called Untung Putsch, Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko itu menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa Soekarno adalah dalang sebenarnya dari tragedi yang menimpa Indonesia pada tahun 1965.

Dalam hal ini, kesimpulan yang termuat dalam buku itu seolah merupakan peluru yang ditembakan ke arah citra Soekarno; menjadi peluru yang menembus sosok Soekarno yang hidup sebagai sebuah bayangan, sebuah nama. Dengan kata lain, buku itu sendiri adalah upaya pelenyapan Soekarno sebagai citra itu sendiri: proses peminggirannya dalam panggung sejarah Indonesia, yang ironisnya pernah jadi tempat yang mementaskan lakonnya. Di sinilah pembunuhan ketiga itu berlangsung.

Mendapati kenyataan tersebut, saya jadi berpikir: betapa kehidupan Soekarno merupakan sebuah tragedi tanpa akhir, seperti halnya peristiwa tragik yang terjadi pada tahun 1965, yang hingga kini tetap, terus menerus menghadirkan polemik. Ya, tak salah jika Ong Hok Ham, sejarawan Indonesia itu mengibaratkan Soekarno sebagai Hamlet dalam karya Shakespeare: kisah akhir hidupnya sama-sama berujung dengan tragedi.

Mengenai hal ini saya jadi bertanya-tanya: mungkinkah tragedi Soekarno akan berakhir jika sejarah tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 itu terungkap kebenarannya? Mungkinkah kisah hidup Soekarno tak berujung seperti halnya kisah Hamlet? Karena dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan Asvi Warman Adam dalam bukunya tersebut: tragedi yang menimpa Soekarno sebetulnya juga merupakan tragedi bangsa Indonesia.

 

No comments:

Post a Comment

Popular Posts Now